berkaca dari diri orang lain

“terimakasih kepada orang orang jahat yang membuatku menjadi merasa baik, terimakasih kepada orang orang baik yang membuatku ingin menjadi lebih baik lagi.”

Kata kata itu bukan dari siti khadijah, isaac newton atau siapapun. Itu berasal dari aku sendiri. Yeay me! Semacam narsisisme luar biasa ngutip dari kata-kata sendiri. tapi setidaknya, itu adalah kata-kata yang aku pake kalo kebutuhan sabar lagi meningkat. Ngeliat beberapa orang yang...yah...begitulah. orang orang yang prilakunya udah kayak sinetron, atau malah saking absurdnya, khayalan para sutradara pun ngga bisa mengalahkan ciptaan Tuhan seperti dia.

Berkaca dari diri orang lain. Agak ganjal sebenarnya. Biasanya kita punya istilah “berkaca pada diri sendiri”, “introspeksi diri”, yah, semacam itu. Maksud dari introspeksi diri itu adalah kita memikirkan kembali, apasih kekurangan kita, kelebihan kita, kapan kita bejat dan kapan kita malaikat. yaa, tanpa dijelasin juga temen-temen pasti pada udah ngerti.

Tapi sadar nggak sih. Dari beberapa wawancara oprec dan wawancara lainnya, saat ditanyakan “coba sebutkan apa kelebihan dan kekurangan kamu”, your mind will be like “well...here it comes the hardest question...”. pikiran kamu mulai melayang layang. Melempar pandangan ke dinding, rumput yang bergoyang, seakan akan ada kelebihan dan kekurangan kamu tertulis disana.

Padahal kenyataannya, siapa sih yang kenal kita selain diri kita sendiri? harusnya sih itu jadi easiest question. Toh yang ngejalanin hidup ini kan kita sendiri. harusnya udah kenal apa apa aja yang bikin kesandung dan apa apa aja yang jadi batu loncatan.

Tapi sadar nggak sih #2, kita lebih mudah menilai orang lain daripada diri kita sendiri. karena apa? karena kita ga bisa jilat siku sendiri, tapi bisa jilat siku orang lain. Maaf, aku nggak punya analogi lain. Kita nggak bisa ngeliat kita gimana di mata orang-orang, tapi jelas sekali gimana kita ngeliat orang orang dari mata kita.


Mungkin itu makanya kita butuh bercermin atau introspeksi diri tadi. Dimana kita harus mengeluarkan sedikit bagian dari diri kita untuk keluar dari tubuh ini, trus ngeliat diri kita dari sudut pandang yang berbeda alias sudut pandang ‘orang lain’. Biar kita kenal diri kita luar dalam, trus pas wawancara udah nggak bingung lagi deh mau jawab apa.

Tapi nggak segampang itu, Rangga. Ya iya, beberapa paragraf diatas sebenernya bullshit sekali. Jujur, aku ngerasain diri aku berubah seiring berjalannnya waktu. Orang yang aku bilang “aku nggak akan jadi demikian” waktu SMA, kenyataannya aku menjadi seperti itu sekarang. Fani labil berubah sesuai dua kemungkinan: Fani-dewasa atau Fani-makin-labil. Aku berubah kenapa? Karena kebanyakan introspeksi diri. Aku sering berpikir “wah...kayaknya ga bisa nih aku gini. Nanti gini gini gini” dan voila! Aku berubah. Prinsip berubah. Pegang prinsip baru. Seiring berjalannya waktu...terjadi lagi...berubah lagi. Seakan-akan semua perubahan ini jadi sebuah siklus. Memang manusia berkembang. Tapi belum jelas, perkembangan ini baik atau buruk.

Sebelum tulisan ini melebar kemana-mana, aku akhirnya menemukan solusi yang lebih gampang. Hanya dengan lima ribu rupiah, anda bisa menemukan cara upgrade diri sendiri tanpa harus introspeksi diri sejuta tahun lamanya. Aku merasa yang lebih gampang adalah berkaca pada diri orang lain.

Karena ngeliat orang lain lebih mudah daripada ngeliat diri sendiri, yaudah. Kamu bisa liat apakah jika kamu diposisi orang tersebut kamu akan bertindak sama seperti dia, atau malah sebaliknya. “wah, anak ini rajin. Aku kalo jadi dia pasti emang gitu sih.” Berarti kamu rajin.

“wah, dia kok pelit sih. Kalo aku jadi dia sih pasti aku kasi temen temenku.” Berarti kamu nggak pelit.

Gampang kan?

Selain itu juga bisa punya bahan untuk mengubah diri sendiri. misalnya kamu ngeliat seseorang yang cerewet. Memang kamu orangnya cerewet juga, tapi ngeliat ada yang lebih cerewet daripada kamu, kamu baru sadar kalo itu nggak baik dan berusaha mengubahnya.


Inget ngga sih, episode spongebob “not normal”? 


Saat spongebob itu berusaha jadi orang “normal” sampai dia akhirnya jadi “normal permanen”. Karena sifat normal itu membahayakan, dia berusaha mengubahnya. Sudah susah susah berusaha, dia tetap saja normal. Sampai akhirnya dia melihat squidward yang juga berubah menjadi normal. Dia sadar betapa buruknya orang kalau sudah ‘normal’, dan dia langsung berubah menjadi tidak normal kembali.

Jadi intinya? Enggak, lupain spongebob dan kenormalannya. Intinya adalah, untuk berubah menjadi lebih baik, aku rasa kita harus ‘tertampar’ dulu melihat bagaimana buruknya sebuah sifat jika dimiliki. Cara taunya? Ya lihat orang lain yang memilikinya. Bagaimana pandangan kamu terhadapnya? Apakah kamu demikian juga? Lihatlah dari orang lain. Kenali berbagai macam kepribadian. Berinteraksi. Berteman. Bersenang-senang. Dan berkacalah sepuasnya. Niscaya kamu..

Tunggu. Ini bukan tausiyah ramadhan.


Okedeh. Kira kira gitu. Semoga kita bisa jadi orang yang lebih baik lagi setiap harinya! J

pic source :

Popular posts from this blog

music is in you, isn't it?

Interpretasi puisi : Aku Ingin, karya Sapardi Djoko Damono

Ibu yang Tidak Ideal