A Poem and Short Story : Afeksi

Afeksi

Selamat datang di afeksi
Disini kalian tidak perlu termangu diam menunggu
Atau gelisah sesak pepat
Kalian akan disuguh aroma-aroma hangat
Dielus manis tanpa bertanya apa
Bertanya kenapa
Tiada alasan
Tak penting alasan
Persetan alasan
Terserah semuanya, kalian bahkan aku pun masih terbata bata mendeskripsikannya

Hanya bisa mengatakan,
selamat datang di afeksi.
Selamat datang,
afeksi.



A short story
Afeksi
 (Afeksi artinya rasa kasih sayang; perasaan emosi yang lunak. sumber : http://artikata.com/arti-317924-afeksi.html )

            Apalah yang ku rasakan sekarang.
            Aku duduk mengamati seorang laki-laki yang sedang berdiri, melihat-lihat ke kiri dan ke kanan. Aku tahu dia merasakan hal yang sama denganku. Kami sama-sama penat, menunggu sebuah bus yang biasanya datang lebih cepat daripada waktu yang ditunjukkan saat ini. lelaki itu kembali duduk disampingku.
            “ ini udah terlambat setengah jam, lho. Apa perlu aku telpon pusatnya? “ ujar lelaki itu. Pandanganku yang tadi mengarah ke dirinya kulemparkan menjadi pandangan kosong ke depan.
            “ ah, nggak usah. Kita tunggu aja. Paling bentar lagi datang. “
            “ hmm, ada yang mau diceritain? Untuk mematikan waktu? Aku bosan dengan aktifitas ‘menunggu saja’. “ lelaki itu berujar sambil menatap wajahku, berharap aku menoleh kearahnya. Tetapi aku tetap diam dalam perenunganku. Serasa malas untuk menatapnya.
            “ tidak, sepertinya. Gunakan iPad ku, kamu biasanya suka main flow. “ aku mengeluarkan benda yang menurutku seperti nampan itu dari dalam tas. Imam, nama lelaki ini, senang dengan ideku meminjamkannya permainan yang sangat ia sukai. Aku sendiri tidak suka menggunakan benda ini. ayahku memberikannya padaku karena ia adalah seorang nasabah dari salah satu bank, dan benda canggih itu adalah sebuah hadiah. Untuk pria tua yang kolot seperti ayahku benda itu tak berguna, dan aku juga tak tahu kenapa benda seperti itu dikira ayahku berguna untukku.
            Imam yang biasa menggunakannya. Karena aku suka cara Imam menikmati setiap detik dengan iPad ku, aku membawanya setiap hari. Tapi entah kenapa, untuk siang yang terik ini, pemandangan dirinya yang sibuk menarik-narik garis pada bulatan yang berwarna sama itu tidaklah menarik. Tak ada sedikitpun aku menoleh kearahnya. Agar tidak terkesan benar-benar acuh tak acuh padanya, aku berpura-pura melihat kiri kanan mencari kedatangan bus sekolah yang kami tunggu dari tadi. Kami yang tinggal dalam suatu komplek perumahan yang memiliki fasilitas pergi dan pulang sekolah menggunakan bus. Disekitarku banyak juga anak-anak lain yang mengalami penantian yang sama. Tak biasanya bus kami terlambat.
            Aku merasa jahat tidak tertarik pada Imam yang sedang bermain. Dengan tingkat kepintarannya yang cukup tinggi, sangat mudah baginya menyelesaikan game puzzle itu dalam sekejap. Aku coba mengarahkan bola mataku ke arahnya. Walaupun aku tahu, otakku sedang memikirkan hal lain. ingin sekali aku berhenti memikirkan ini. tetapi tetap saja semuanya menggangguku.
            Aku tidak bersyukur? Mungkin. Tapi tolong, maafkan aku.
            Hey, tunggu, itu busku datang.
            Lelaki jangkung disampingku ini merasakan getaran dan asap busuk bus yang berhenti didepan kami. Ia menghentikan permainannya, mendekap iPad ku dan mengambil tanganku untuk digenggamnya. Aku ikuti langkahnya yang membimbingku naik ke atas bus. Dia tetap membimbingku walaupun aku tahu kami akan duduk di bangku yang mana. Aku tahu dia akan duduk dibagian dekat jendela. Aku tahu dia akan melepaskan sepatunya sekitar 3 detik setelah duduk. Yah, aku sudah kenal semuanya. Sudah terlalu terbiasa. Kedekatan kami mungkin sudah bertahun-tahun. Melakukan rutinitas yang sama, terus menerus. Sampai di titik ini, aku bingung. Apa maksudnya ini?
            Ini dia yang aku fikirkan daritadi, yang menyebabkanku tiba-tiba menjadi pendiam. Aku merasa ada yang aneh dengan hubungan kami. Hubungan? Tidak, kami bukanlah sepasang kekasih. Itu dia, aku juga tak tahu apa hubungan kami sekarang. Hubungan tanpa status? Bisa jadi. Sahabat? Bisa jadi. Tetapi hubungan tanpa status terasa terlalu jahat, dan sahabat terasa terlalu transparan. Sahabat yang terlalu dekat, mungkin itu sebutan yang tepat. Bagaimana tidak, kami pergi dan pulang sekolah bersama-sama. Aku selalu ada dipertandingan catur yang seringkali ia ikuti. Aku selalu memaklumi sifat kekanak-kanakannya. Sementara ia selalu bisa membuatku tertawa padahal aku adalah tipikal orang yang tertutup, ia selalu kagum dengan hasil-hasil tulisanku walaupun tidak ada orang lain yang membacanya. Aku sangat senang saat ia mengagumiku, karena sebenarnya, akulah pengagum beratnya.
            Aku dan Imam berbeda kelas, aku sudah tahu dirinya dan namanya sejak lama sekali. Aku mengaguminya. Aku mengagumi dirinya yang bisa akrab dengan banyak orang, membuat orang-orang tertawa, dan bisa terlihat sangat serius saat dia tenggelam dalam permainan-permainan yang mengasah otaknya. Kelebihannya bermain catur sudah sangat terkenal, entah itu hanya untuk pertandingan tujuh-belasan disekolahku, disekitar komplek rumah, atau membawa nama sekolah ke jenjang nasional. Ia sudah kenyang pengalaman dalam olahraga favoritnya itu. Selain kepribadiannya, aku juga mengagumi tampilan luarnya. Tubuhnya jangkung, kulitnya putih. Jika dilihat dari postur tubuhnya, ia lebih cocok menjadi pemain basket daripada menjadi pemain catur. Saat ia bermain catur seringkali ku perhatikan betapa bungkuknya ia untuk mencoba memerintah prajurit-prajurit kecilnya itu. Rambutnya ikal, dibiarkannya acak-acakan terus menerus. Wajahnya sendiri juga tidak terlihat seperti seorang pemikir. Aku rasa anugerah IQ yang tingginya itu hanyalah bakat yang tersasar ke dalam dirinya. Dia sendiri adalah lelaki yang kekanak-kanakan, dan tampak sekali ia seringkali berusaha untuk menjadi pria yang dewasa. Tetapi tetap saja, melihat caranya tertawa, leluconnya yang masih melibatkan tokoh-tokoh kartun, sikapnya yang terkadang egois, memang terlihat jelas bagaimana kepribadiannya. Aku suka sekali melihatnya, sinar yang tercipta dari aura yang terasa setiap ia berjalan di  koridor sekolah. Dan beruntungnya, sekarang kami dekat. Sangat dekat. Berawal dari halte bus yang sama, tempat kami menunggu tadi. Ia memperhatikanku, dan mengajakku berbicara. Aku terlalu kaget saat itu, orang yang aku kagumi tiba-tiba mengajakku berbicara. Ia mengajakku berbicara, ia menjadi dirinya sendiri, persis menjadi apapun yang aku kagumi. Mengenalnya lebih dalam adalah hal terbaik dihidupku. Menjadi sahabatnya apalagi. Maka semuanya terjadi terasa sangat cepat. Menemuinya terus menerus dihalte bus, menciptakan kebiasaan pergi dan pulang sekolah bersama, belajar bersama setiap UAS, mendengarkan cerita-cerita konyolnya di jam istirahat, tak kusangka semua kebiasaan itu terlah terjadi hampir 3 tahun lamanya. Sebentar lagi kami  akan lulus SMA. Dan faktanya, kami berdua belum pernah jatuh cinta pada orang lain, selama kami bersama.
            Aku tak tahu, apakah aku jatuh cinta padanya atau tidak.
            Kadang aku meyakini bahwa aku mencintainya. Aku juga seringkali merasakan yang orang-orang bilang saat jatuh cinta, seperti ada kupu-kupu berterbangan diperutku saat aku menatapnya. Aku berusaha berpenampilan menarik saat aku bersamanya. Jantungku berdetak cukup keras ketika ia menggenggam tanganku. Walaupun sifatnya kekanak-kanakan, tapi aku tahu kalau dia melindungiku. Kami terkadang juga seperti kakak-beradik. Hanya saja sering bertukar posisi. Ia adalah kakakku saat aku berada ditempat umum, berada di kondisi aku harus berbicara didepan umum, kondisi dimana aku akan grogi, panik, dan cemas. Karena aku adalah orang yang pemalu, pendiam dan penakut. dulu semua hal hanya bisa aku tulis, aku tidak suka berbagi cerita dengan sahabat-sahabat perempuan seperti anak remaja lainnya. Aku bahagia menemukannya, karena berkatnya aku mempunyai cara lain untuk berbagi ceritaku. Aku memilikinya untuk berbagi cerita. Hanya padanya aku bisa bercerita banyak layaknya gadis lain. sementara aku adalah kakaknya saat ia sedang sakit, saat ia sedang terpukul dan tidak bisa mengendalikan emosinya. Akulah obat penenangnya. Kata-kataku seringkali membuatnya sadar akan  banyak hal, walaupun aku hanya berbicara sedikit. Ia pernah mengatakan padaku, kehadiranku membuatnya tenang. Aku ingat sekali saat ia benar-benar terpukul karena ia pernah didiskualifikasi dalam sebuah pertandingan catur akibat kecerobohannya. Saat keluar dari ruangan pertandingan, aku bisa melihat air mukanya yang kecewa, marah, kesal saat menatapku. Aku tak tahu mau bicara apa. Aku melangkah mendekatinya, berfikir mungkin sedikit tepukan dibahu bisa membantu. Tetapi ia malah menyergap memelukku. Aku benar-benar kaget, dengan gerakan canggung kubalas pelukannya. Ia memelukku lama sekali, hingga akhirnya saat pelukan itu dilepas, aku sadar air mukanya sudah berubah. Ia tidak kacau lagi. Entahlah, mungkin ada keajaiban dalam diriku yang membuatnya tenang dan nyaman, seperti keajaiban dalam dirinya yang membuatku juga demikian.
            Aku menyayanginya. Dia menyayangiku.
            Tentu saja aku juga tidak tahu, dia jatuh cinta padaku atau tidak.
            “ aku boleh download game puzzle lain? “ di atas bus Imam masih saja berkutat dengan iPad ku.
            “ besok saja, kita sudah akan sampai. “ jawabku acuh tak acuh.
            “ hmm, nanti turun dirumah ku aja ya? Aku malas dirumah, kita main ke cafe aja. Oke? “
            “ entahlah, aku capek. “
            “ ayolah...aku traktir es krim... “ Imam masih saja merayuku. Ah, dengan keadaan seperti ini? bagaimana bisa aku menikmati waktu dengannya?
            “ besok deh ya, Mam? Aku mau tidur. “
            “ please Nika cantik...please? nggak bikin capek nanti kok, cuma cerita-cerita aja kan? Siapa tahu kamu mau ceritakan masalah kamu yang bikin kamu terdiam dari tadi. “
            Ck, tentu saja. anak ini telah mengenalku sangat dalam, apa susahnya mengetahui kalau aku sedang menyembunyikan sesuatu?
            “ Imam... “ aku masih saja menunjukkan muka keberatanku.
            “ Annika...hari ini panas,lho. Ngapain dirumah. Banana split udah nunggu kamu tuh. Hehehe. “
            “ ya, ya. Oke. Nanti bilang sendiri ke bang Ebit ya. “ aku akhirnya mengangguk, menyerah. Selain karena aku tergoda dengan es krim yang ditawarkannya, aku juga tak akan sanggup menolak apapun permintaan Imam. Dari dulu, sampai kapanpun. Bang Ebit sendiri adalah supir bus yang kami naiki ini. dia harus dipastikan untuk tidak perlu berhenti didepan rumahku lagi.
            “ aman ah. Tos dulu? “ aku menyambut cengiran Imam dengan tos lemah pada telapak tangannya. Imam pura-pura tak peduli dengan aku yang masih tak bersemangat, kembali berkutat pada iPad ku. Meneruskan game flow yang daritadi ia mainkan. Aku mengintip sedikit permainannya. Sudah 30 level ia lalui dari memulai bermain sampai perjalanan ini. ah, aku sudah tak kaget lagi.

Genggaman tangan Imam terasa seperti biasa saat kami berusaha turun dari bus. Imam membungkuk beberapa kali agar kepalanya tidak mengenai gantungan tangan bus. Sementara aku yang berbadan pendek hanya berjalan pelan mengikuti langkahnya didepanku. “ Annika sama aku ya, bang! “ sesuai permintaanku, Imam memberitahu bang Ebit kalau aku bersamanya. Bang Ebit hanya mengangguk dengan muka lelahnya. Aku rasa tadi bus sempat mogok, dan ia harus memperbaikinya sendirian. Makanya bus datang agak terlambat.
            “ perlu masuk? “ aku bertanya sembari Imam menggeser pagar rumahnya.
            “ masuk aja. Aku mau ganti baju bentar. “
            “ jangan ganti baju. Temani aku pakai baju seragam. “
            “ oh, oke. Tunggu disana. “
            Dengan gerakan cepat Imam mengeluarkan mobilnya. Memang agak lucu, Imam pergi dan pulang sekolah menggunakan bus, padahal ia bisa bepergian dengan kendaraan kami sendiri. Imam hanya mau memanfaatkan fasilitas yang ada, daripada dia harus repot-repot pergi sekolah sendiri. Jika ia terlambat, ia akan terlambat sendirian. Hal itu tidak akan terjadi jika ia menggunakan bus. Jangankan untuk terlambat sendirian, untuk datang terlambat saja akan sangat mustahil. Bus kami adalah bus yang sangat tepat waktu, kecuali tadi.

“ jadi, kenapa tadi? “ kami sudah sampai di cafe. tentu saja, iPad ku masih ditangan Imam. Sesuai rencananya, ia ingin men-download game-game puzzle baru yang menarik hatinya. Sementara aku sudah berhadapan dengan banana split ku. Es krim coklat, vanilla, dan stroberi yang diletakkan diatas pisang ini adalah kesukaanku. Pantas jika aku disogok makanan menggiurkan ini, aku jarang menolak. Imam tahu jelas tentang kenyataan itu.
“ ah, apa? “ aku pura-pura tak dengar apa yang ditanyakan Imam tadi. Ku sibukkan tanganku dengan menyuapkan mulutku dengan potongan pisang yang kecil-kecil.
“ tadi. Di bus. Kok ngelamun aja. “
“ lagi males. “
“ pft, tupai terpeleset mendengar alasanmu. Cari alasan lain. “ mata Imam tak lepas memperhatikan sudah berapa persentase download yang baru ia click. Istilah-istilah seperti “tupai terpeleset”, “semut tertawa”, dan beberapa istilah lain seperti itu adalah cara Imam menyatakan kalau ia tak percaya dengan kata-kataku. Aku memutar bola mataku. Haruskah aku mengakui apa yang aku fikirkan tadi? Aku memikirkannya, aku memikirkan perasaannya padaku, perasaanku padanya. Dia pasti akan tertawa terbahak-bahak mendengar isi otakku itu.
Aku terdiam. Aku memang benar-benar mencari alasan lain. Imam membuka suara, “ sejak kapan kamu bisa menyembunyikan sesuatu dariku? “. Aku tersentak. Benar sekali. Ku tatap lekat Imam, melihatnya yang ternyata sudah menikmati game baru. Walaupun sedang asik, Imam sadar kalau aku sedang menatapnya. Ia mengangkat kepalanya. Melihatku. Aku salah tingkah. Lidahku ingin mengucapkan sesuatu, tetapi aku masih ingin berfikir. Tatapan Imam menerjangku. Mengancam kalau aku tidak menyebutkan satu hal pun tiga detik lagi, aku akan dibunuhnya.
“ kamu...sayang aku? “ akhirnya pertanyaan itu yang bisa ku lontarkan. Imam menunjukkan ekspresi sedikit kaget. Ia menyentuh tombol pause di game nya yang ia kira akan ditinggalkannya sebentar saja. kalau ia sudah mau mem-pause permainannya, berarti ia sudah siap untuk memberikan perhatian sepenuhnya untukku. Hal ini membuatku semakin berdebar. Apa aku salah bicara?
“ oh, tentu saja. kenapa dipertanyakan? “ ucapnya ringan. Aku memaksakan senyumku.
“ maksudku-- “ aku ingin meneruskan pertanyaanku. Namun tiba-tiba Imam memotongku. “ kalau aku jatuh cinta padamu, apa yang akan kamu lakukan? “
Aku merasakan darahku berdesir dengan kasar sekarang. Astaga, kata-kata itu yang ingin sekali kuucapkan dari tadi. Hanya saja itu terlalu frontal dan tiba-tiba. Buktinya sekarang malah aku yang dibuat balik kaget.
“ aku garis bawahi kata ‘kalau’. Karena aku tahu itu tidak mungkin. Bagaimana jika sebaliknya? “
“ kalau kamu jatuh cinta padaku...aku...aku akan menghabiskan jus ini dalam satu tegukan. “ Imam menunjuk gelas tinggi berisi jus jeruk yang masih penuh karena belum ada diminumnya sejak tadi.
“ boleh juga. Menurutmu, kita ini sedang jatuh cinta atau tidak? “
“ kamu tahu apa rasanya jatuh cinta? “ Imam bertanya balik. Aku mematung.
“ ehm. “ aku berdehem sedikit. “ kalau aku punya kisah cinta, kamu lah yang pertama kali kuberi tahu. Masuk akal kan? “
“ begitu pula denganku. “ Imam tersenyum kecil. Mukaku memanas. Ku lihat matanya yang dibingkai oleh alisnya yang tebal. Ku perhatikan beberapa titik diwajahnya.
“ kamu tahu, kamu itu ganteng. Kenapa tidak jatuh cinta? “
“ aku mempunyai kamu. Untuk apa aku jatuh cinta? “
Aku tidak sanggup lagi menghitung berapa kali Imam membuatku terbang. Kata-katanya...
“ jadi, kamu jatuh cinta padaku? “
“ tidak. kamu tahu, apapun yang kurasakan untukmu, jauh lebih luar biasa daripada jatuh cinta. “
“ Imam, kamu nggak usah sok dewasa. Hahaha. “ aku masih mencoba tertawa kecil, padahal aku tahu mungkin ruhku sedang menari-nari di taman bunga dengan burung-burung yang beterbangan.
“ aku serius. Walaupun aku tak pernah jatuh cinta, tapi aku tahu, orang-orang diluar sana yang jatuh cinta, tidak pernah merasakan apapun yang aku rasakan sekarang. Aku jauh lebih beruntung. “
Aku tak sanggup lagi. Tiba-tiba airmataku mengalir. Aku menangis, menangis bahagia. Ah, apalah yang kufikirkan tadi. Apa yang ku harapkan? Aku dan Imam berpacaran? Astaga, itu pemikiran yang bodoh sekali. Aku sudah lebih dari itu. Aku adalah orang yang paling beruntung. Banyak mereka yang mengaku bahagia dengan pasangannya, tetapi memiliki banyak masalah. Aku harus lihat betapa jauh lebih hebatnya kisahku daripada kisah mereka. Aku memiliki sahabat, kekasih, kakak, teman, dalam satu orang. Semua yang kurasakan timbal balik. Tidak ada istilah meminta lebih atau apapun yang dikeluhkan mereka yang mengaku sudah bersama orang yang mereka cintai. Aku bersama Imam, seseorang yang mengenalku hingga titik-titik terkecil. Aku juga demikian terhadapnya. Tidak ada kekurangan yang harus kurenungkan, tidak ada hal yang harus kukeluhkan. Astaga, ku sayangkan betapa bodohnya aku siang tadi.
Aku mengangkat kepalaku, karena tadi aku menangis aku tidak sadar dengan keadaan sekitar lagi. Tetap yang kulihat adalah Imam kembali meneruskan permainannya.
“ Imam, aku lagi nangis, lho! “ aku serbu ia karena tega-teganya dia melanjutkan bermain saat aku sedang menangis. Pantas saja dia diam saja daritadi. Ku kira dia sedang memperhatikanku. Ternyata dia kembali menjadi dirinya sendiri.
“ oh, iya. Nanti aku bujuknya ya, ini bentar lagi selesai. “ bisa ku lihat senyum jahil yang ia coba sembunyikan dariku, berusaha sok sibuk dengan game jigsaw puzzle yang ia download tadi. Aku tertawa dengan mata yang masih sembab. Pemandangan Imam yang sedang bermain game menjadi pemandangan favoritku lagi. Terimakasih, Tuhan, atas anugerahnya. Semoga kita terus begini ya, Imam.
            Sambil mengangsur habis banana split-ku, aku masih terus berfikir. Apa benar tidak ada perasaan yang apik diantara kami berdua? Janggal rasanya. Aku hanya tahu satu hal. Aku menyayanginya. Jika aku sedang menulis, maka aku akan gunakan diksi “afeksi”. Ah ya, istilah untuk rasa kasih sayang itu. Aku memiliki afeksi yang menjalar-jalar, yang tidak bisa dideskripsikan. lagipula, entah apa gunanya aku memikirkannya. Ku peluk saja afeksi-ku, jangan pernah lepas. Maka...selamat datang, afeksi. Sebuah rasa yang tak perlu kudeskripsikan.

Comments

Popular posts from this blog

music is in you, isn't it?

Interpretasi puisi : Aku Ingin, karya Sapardi Djoko Damono

don't judge me if you don't know me