Ready To Change

Ini bukan postingan klarifikasi


Hai, teman-teman. Too early to come back and write, right? But maybe I need to do this more often.

Beberapa hari lalu, suatu hal yang mengagetkan terjadi. Aku ngepost suatu puisi di Instagram stories,  dan tak dinyana ada buanyak banget dm yang masuk. Kalian kaget, aku lebih kaget. Aku panik, gila kok banyak banget yang ngerespon. Aku memutuskan untuk ngga membalas semuanya. 

Iya. Itu cincinku. Puisi itu adalah tentang 'komitmen'-ku. Tapi...tidak "se-"serius"" (itu lho sampe petiknya dobel) itu. Iya, ada rencana ini dan itu. Iya, ada yang dibatalkan. Tapi, tidak "se-"tragis"" itu. Namanya juga puisi, gaes. Puisi itu menceritakan tragedi 12 kali lebih dahsyat daripada kenyataannya. Jadi, apapun interpretasi kalian, silakan dibagi dua belas.

Jadi puisi itu benar atau bohong? Sebagian besar benar, tapi..tidak se-tragis yang kalian bayangkan. (tapi tetep stress juga sih)

Postingan apa sih? Yha karena saya terlampau malu yahh, jadi yang tidak sempat membacanya, bersyukurlah kalian! Kalian tidak akan ada kesempatan untuk melihatnya.

Katanya bukan klarifikasi. Iya, emang bukan. Aku kesini karena pengen cerita dikit nih. Sini sini.

Pasca kejadian yang membuat aku menulis puisi tragis itu, aku stres level intermediate. Makan tak enak, tidur tak lemak (re : enak). Ditambah lagi rutinitas ngantor yang tidak terlalu membantu. Overthinking merajalela, produksi airmata udah kayak keran bocor, auraku negatif. Di postingan ini aku juga mau minta maaf pada my roommate, Tia, karena aku telah membuat kamar kita pengap dengan negative vibes. Maafkan aku bebe, terimakasih juga supportnya yang luwar biasa, walaupun disambi dengan telponan dengan bodyguard-bodyguard kesayangan Tia.

Bersyukurlah semingguan ini aku bisa dapet kesempatan punya teman bicara yang lumayan membuka otakku sedikit demi sedikit. Biasanya sih aku lebih banyak ketawa, cuma sore ini pembicaraan bisa cukup serius dan aku juga bisa menulis ini. Aku cerita ke dia tentang bagaimana aku terusik dengan hal-hal sepele, yang aku tahu itu sepele tapi aku tetap terganggu. Karena aku tahu bahwa aku terganggu oleh hal yang sepele, aku semakin kesal dan terganggu semakin parah lagi. Lingkaran setan.

Sebenarnya aku iri. Aku iri dengan dia dan kemampuannya untuk "bodo amat" ke sangat banyak hal, seperti yang dilakukan oleh 85% warga di kelasku yang notabene laki-laki semua (aku menyebut 'kelas' karena aku masih dalam program training in class). Kenyataannya, aku yang terbiasa berteman dengan ukhti, eh, ciwi-ciwi ini bener-bener butuh effort untuk adaptasi dan seringkali gagal untuk bersifat "bodo amat" dikala mencoba berbaur dengan jantan-jantan di sekitar. Kadang tersinggung, kadang ngga nyambung, tapi harus stay cool. The struggle is real. Seandainya aja aku bisa dengan gampangnya bodo amat ketika keadaan tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan. Susah banget rasanya.

Aku kebanyakan mengeluh ya?

Setelah aku cerita tentang kesulitanku tadi ke temanku tadi, tentu saja dia dengan santainya menjawab " ngapain yang kayak gitu dipikirin. Bodo amat ajalah.. "

"... coba kamu baca buku seni bodoh amat itu. " dia melanjutkan

aku menjawab " aku udah baca itu. tapi bodo amatnya cuma tahan seminggu. "

" baca lagi. Kita cuma bisa mengendalikan apa yang kita lakukan. Yang selain itu yaudah, bodo amat aja "

" kamu udah baca? yang bahasa indonesia atau inggris? " aku bertanya.

" yang bahasa indonesia, trus yang bahasa inggris juga.. "

wah, tenyata dia sampe baca dua kali.

" ...tugas kita itu cuma baik sama orang. memberi banyak, berharap sedikit. yang penting kitanya baik, yaudah. jangan memikirkan apa yang nggak bisa kita kendalikan "

Aku terdiam dan sampe otw pulang aku terus, terus, terus memikirkan apa yang dia bilang.
---

Intinya apa? Intinya adalah kadang masalahnya bukan karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi masalahnya adalah sudah tahu harus melakukan apa, tapi kesulitan bahkan lupa untuk melakukannya. Kadang kita cuma butuh diingatkan bentar, oleh keadaan random atau momen yang tidak jelas. Tapi tertampar sejadi-jadinya. Lalu mencoba berubah. Lalu lupa lagi. Lalu diingatkan lagi.

Kali ini aku bertekad berubah (lagi). Aku sering tersindir oleh lagunya Kodaline yang menjadi judul tulisan ini : Ready To Change. Liriknya seperti ini :

You can stand on the edge shouting out
That you're ready to change, ready to change
You can say what you want
You won't jump, you're not ready to change, ready to change

Tersindir? Banget. Gimana aku selalu ngomong ke diriku untuk mengubah ini dan itu sifat burukku, tapi pada akhirnya tetap balik dan rusak lagi. Tapi bagaimanapun juga, I need to make myself clear, that I'm freaking ready to change, no matter what. Even with 1000 trials and errors. Bismillah.



Comments

Popular posts from this blog

music is in you, isn't it?

Interpretasi puisi : Aku Ingin, karya Sapardi Djoko Damono

don't judge me if you don't know me